Senin, 05 Desember 2011

ASKEP TUMOR OTAK

A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Definisi
a. Tumor ialah Istilah umum yang mencakup setiap pertumbuhan benigna (jinak) dalam setiap bagian tubuh. Pertmbuhan ini tidak bertujuan, bersifat parasit dan berkembang dengan mengorbankan manusia yang menjadi hospesnya. (Sue Hinchliff, kamus Keperawatan, 1997).
b. Tumor otak adalah tumor jinak pada selaput otak atau salah satu otak (Rosa Mariono, MA, Standart asuhan Keperawatan St. Carolus, 2000)
c. Karsinoma otak (maligna) adalah neoplasma yang tumbuh di selaput otak.
d. Neoplasama ialah sekumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus secara terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh. (Patologi, dr. Achmad Tjarta 1973).
2. Anatomi Fisiologi
Susunan saraf adalah sistim yang mengontrol tubuh kita yang terus menerus menerima, menghantarkan dan memproses suatu informasi dan bersama sistim hormon, susunan saraf mengkoordinasikan semua proses fungsional dari berbagai jaringan tubuh, organ dan sistim organ manusia.
a. Susunan saraf sadar (Voluntary nervous system) mengontrol fungsi yang dikendalikan oleh keinginan atau kemauan kita. Saraf ini mengontrol otot rangka dan menghantarkan impuls sensori ke otak. Melalui saraf ini kita dapat melakukan gerakan aktif dan menyadari keadaan diluar tubuh kita dan secara sadar mengendalikannya.
b. Susunan saraf otonom/ tak sadar (automatic nervous system) saraf ini menjaga organ tubuh bagian dalam supaya berfungsi dengan baik seperti : hati, paru-paru, jantung dan saluran cerna. Fungsi dasar yang penting bagi kehidupan seperti makan, metabolisme, sirkulasi darah dan pernafasan dikendalikan dengan bantuan susunan saraf otonom. Susunan saraf otonom dibagi menjadi susunan saraf simpatik (menyebabkan tubuh dalam keadaan aktif) dan susunan saraf para simpatik (sistim pengontrol konstruktif dan menyenangkan).
Serebrum terdiri dari dua hemisfer yaitu kiri dan kanan, empat lobus yaitu:
 Lobus frontal berfungsi mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri.
 Lobus parietal merupakan lobus sensori berfungsi menginterpretasikan sensasi, berfungsi mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
 Lobus temporal berfungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau, pendengaran dan ingatan jangka pendek.
 Lobus oksipital bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan
gr. Otak menerima 20% dari curah jantung dam memerlukan sekitar 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang peling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa.
Dan 65% dari kebutuhan glukosa tubuh digunakan untuk metabolisme otak yang mana 90% aerobic dan 10% anairobik. Bila otak tidak mendapat aliran darah selama 3 – 6 menit akan timbul gangguan fungsional dan kerusakan structural secara menetap. Otak berfungsi sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-organ sensorik dan sistim efektor perifer tubuh, sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku. Dari dalam ke arah luar otak diselubungi oleh tiga lapisan meningen, lapisan pelindung yang paling luar adalah tengkorak. Otak bukan masa yang uniform, melainkan suatu organ yang sangat kompleks. Secara fungsional dan anatomis otak dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Batang otak yang menghubungkan medulla spinalis dengan serebrum terdiri dari medulla oblongat, pons dan mesensefalon (otak tengah).
1. Medulla oblongata adalah bagian otak yang langsung menyambung dengan medulla spinalis. Berkas saraf yang berjalan disini berasal dari serebrum dan berfungsi untuk pergerakan otot rangka.
Di medulla oblongata berkas ini menyebrang ke sisi yang berlawanan yang disebut jalan/ traktus poramidalis. Itu sebabnya jika kerusakan otak bagian kiri akan menyebabkan kelumpuhan bagian kanan tubuh dan sebaliknya. Selain traktus piramidalis ada kelumpuhan sel-sel saraf yang terdapat di medulla oblongata yakni pusat otot yang mengontrol fungsi vital seperti pernafasan, denyut jantung dan tonus pembuluh darah.
2. Pons berupa ninti (neucleus). Pons merupakan switch dari jalur yang menghubungkan korteks serebri dan serebllum.
3. Mesensefalon merupakan bagian otak yang sempit terletak antara medulla oblongata dan diensefalon. Pada mesensefalon terdapat formation retikularis, suatu rangkaian penting yang antara lain mengatur irama tidur dan bantun, mengontrol refleks menelan dan muntah.
b. Otak kecil (cerebelum)
Cerebellum terletak dibelakang fossa krenialis dan melekat ke bagian belakang batang otak. Cerebllum berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan mengatur koordinasi gerakan yang diterima dari segmrn posterior medulla spinalis yang memberi informasi tentang keregangan otot dan tanda serta posisi-posisi sendi.
c. Otak besar (cerebrum)
Cerebrum adalah bagian otak yang paling besar dan terbagi atas dua belahan yaitu : hemisper kiri dan kanan. Sebagian dari kedua hemisper dipisahkan oleh pistula longitudinal dan sebagian dipersatukan oleh pita serabut saraf yang melebar (korpus kolosum).
d. Diensefalon
Dibagi menjadi empat wilayah :
1. Thalamus
Thalamus merupakan stasiun pemancar yang menerima impuls ageren dari seluruh tubuh lalu memprosesnya dan meneruskannya ke segmen otak yang lebih tinggi.
Kapsula interna yang terletak disekitar thalamus berupa berkas saraf penting yang datang dari serebri dan dikompres kedalam rongga yang kecil.
2. Hipotalamus
Hypothalamus merupakan pusat pengontrol susunan saraf otonom juga mempengaruhi metabolisme, observasi makanan dan mengatur suhu tubuh, karena letaknya sangat dekat dengan kelenjar pitviteri.
3. Subtalamus
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan diskenisia diamatis yang disebut nemibalismus yang ditandai oleh gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sis tubuh. Gerakan infontuler biasanya lebih nyata pada tangan dan kaki.
4. Epitalamus
Epitalamus dengan sistim limbic dan berperan pada beberapa dorongan emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius.
Pembuluh darah yang mendarahi otak tardiri dari :
a. Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini dapat kita raba dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula, sepasang pambuluh darah ini setelah masuk ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga :
1. Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)
2. Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
3. Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut arteri komunikan posterior.
b. Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini tidak dapat diraba oleh karna kedua pembuluh darah ini menyusup ke bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini mendarahi batang otak dan kedua otak kecil, kedua pembuluh darah teersebut akan saling berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut anastomosis.
3. Etiologi
Penyeban tumor otak belum diketahui pasti, tapi dapat diperkirakan karena :
a. Genetik
Tumor susunan saraf pusat primer nerupakan komponen besar dari beberapa gangguan yang diturunkan sebagi kondisi autosomal, dominant termasuk sklerasis tuberose, neurofibromatosis.
b. Kimia dan Virus
Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus menyebabkan terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi hubungannya dengan tumor pada manusia masih belum jelas.
c. Radiasi
Pada manusia susunan saraf pusat pada masa kanak-kanak menyebablkan terbentuknya neoplasma setelah dewasa.
d. Trauma
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum diketahui.
4. Klasifikasi
Tipe Kasus Patologi
Glioma Jumlah ½ tumor otak Tumbuh pada tiap jaringan dari otak. Infiltrasi dari terutama ke jaringan hemisfer cerebral.
Tumbuh sangat cepat, sebagian orang bias hidup beberapa bulan sampai tahun.
Meningoma 13 % sampai 18 % tumor primer intracranial Tumbuh dari selaput meningeal otak. Biasanya jinak tapi bisa berubah menjadi maligna. Biasanya berkapsul dan penyembuhan melaui bedah sangat mungkin. Pertumbuhan kembali mungkin
Tumor Pituitari Tumor pada semua kelompok umur, tapi lebih sering pada wanita. Tumbuh dari berbagai jenis jaringan.
Pendekatan pembedahan biasanya berhasil. Kekembuhan kembali mungkin.
Neuroma (Schwannoma, neuro)
Neuroma akustik sangat sering Tumbuh dari sel-sel Schwann di dalam meatus auditori pada bagian vestibular saraf cranial III. Biasanya jinak bisa berubah menjadi maligna. Akan tmbuh kembali bila tidak terangkat lengkap. Reseksi bedah sukar karena lokasinya.
Tumor Metastase
Dari 2 % sampai 20 % penderita kanker terjadi metastase ke otak Sel kanker menjangkau otak lewat sistem sirkulasi. Reaksi bedah sangat sukar, pemgobatan kurang berhasil. Pemulihan dibawah satu tahun atau dua tahun tidak biasa.
5. Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologik progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor : gangguan fokal disebebkan oleh tumor dan kenaikan tekanan intracranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai gejala perunahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompesi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat ganggguan neurologist fokal.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor : bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume intracranial dan meningkatkan tekanan intracranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateral ke ruangan subaraknoid menimbulkan hidrosefalus.
Peningkatan tekanan intracranial akan membahayakan jiwa. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu lama untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah intracranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel parenkim, kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum yang timbul bilagirus medialis lobus temporalis bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan mesensenfalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak ketiga. Kompresi medula oblogata dan henti pernafasan terjadi dengan cepat.
Perubahan fisiologi lain terjadi akibat peningkatan intracranial yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi), dan gangguan pernafasan.
6. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala tumor otak sangat bervariasi, tergantung pada tempat lesi dan kecepatan pertumbuhannya, antara lain :
Daerah Otak Tanda dan Gejala
Lobus Frontalis Gangguan kepribadian
Epilepsi
Afasia mototik
Hemiparesis
Ataksia
Gangguan bicara
Gangguan gaya berjalan
Lobus Oksipitalis Gangguan penglihatan
Lobus Temporalis Halusinasi
Kejang psikomotor
Tinitus (bunyi berdengung atau berdesing)
Kesulitan menyebutkan objek
Lobus Parietalis Tidak mampu merekam gambar
Tidak dapat membedakan mana kiri mana kanan.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Arterigrafi atau Ventricolugram ; untuk mendeteksi kondisi patologi pada sistem ventrikel dan cisterna.
b. CT – SCAN ; Dasar dalam menentukan diagnosa.
c. Radiogram ; Memberikan informasi yang sangat berharga mengenai struktur, penebalan dan klasifikasi; posisi kelenjar pinelal yang mengapur; dan posisi selatursika.
d. Elektroensefalogram (EEG) ; Memberi informasi mengenai perubahan kepekaan neuron.
e. Ekoensefalogram ; Memberi informasi mengenai pergeseran kandungan intra serebral.
f. Sidik otak radioaktif ; Memperlihatkan daerah-daerah akumulasi abnormal dari zat radioaktif. Tumor otak mengakibatkan kerusakan sawar darah otak yang menyebabkan akumulasi abnormal zat radioaktif.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan.
- Craniotomi
b. Radiotherapi
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula merupakan therapi tunggal.
Adapun efek samping : kerusakan kulit di sekitarnya, kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau otot pectoralis, radang tenggorkan.
c. Chemotherapy
Pemberian obat-obatan anti tumor yang sudah menyebar dalam aliran darah.
Efek samping : lelah, mual, muntah, hilang nafsu makan, kerontokan membuat, mudah terserang penyakit.
d. Manipulasi hormonal.
Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk tumor yang sudah bermetastase.
9. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat kita temukan pada pasien yang menderita tumor otak ialah :
a. Gangguan fisik neurologist
b. Gangguan kognitif
c. Gangguan tidur dan mood
d. Disfungsi seksual
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan dan kesehatan
 Riwayat keluarga denga tumor
 Terpapar radiasi berlebih.
 Adanya riwayat masalah visual-hilang ketajaman penglihatan dan diplopia
 Kecanduan Alkohol, perokok berat
 Terjadi perasaan abnormal
 Gangguan kepribadian / halusinasi
b. Pola nutrisi metabolik
 Riwayat epilepsi
 Nafsu makan hilang
 Adanya mual, muntah selama fase akut
 Kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan
 Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan Faringeal)
c. Pola eliminasi
 Perubahan pola berkemih dan buang air besar (Inkontinensia)
 Bising usus negative
d. Pola aktifitas dan latihan
 Gangguan tonus otot terjadinya kelemahan otot, gangguan tingkat kesadaran
 Resiko trauma karena epilepsi
 Hamiparase, ataksia
 Gangguan penglihatan
 Merasa mudah lelah, kehilangan sensasi (Hemiplefia)
e. Pola tidur dan istirahat
 Susah untuk beristirahat dan atau mudah tertidur
f. Pola persepsi kognitif dan sensori
 Pusing
 Sakit kepala
 Kelemahan
 Tinitus
 Afasia motorik
 Hilangnya rangsangan sensorik kontralateral
 Gangguan rasa pengecapan, penciuman dan penglihatan
 Penurunan memori, pemecahan masalah
 kehilangan kemampuan masuknya rangsang visual
 Penurunan kesadaran sampai dengan koma.
 Tidak mampu merekam gambar
 Tidak mampu membedakan kanan/kiri
g. Pola persepsi dan konsep diri
 Perasaan tidak berdaya dan putus asa
 Emosi labil dan kesulitan untuk mengekspresikan
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
 Masalah bicara
 Ketidakmampuan dalam berkomunikasi ( kehilangan komunikasi verbal/ bicara pelo )
i. Reproduksi dan seksualitas
 Adanya gangguan seksualitas dan penyimpangan seksualitas
 Pengaruh/hubungan penyakit terhadap seksualitas
j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
 Adanya perasaan cemas,takut,tidak sabar ataupun marah
 Mekanisme koping yang biasa digunakan
 Perasaan tidak berdaya, putus asa
 Respon emosional klien terhadap status saat ini
 Orang yang membantu dalam pemecahan masalah
 Mudah tersinggung
k. Sistem kepercayaan
 Agama yang dianut, apakah kegiatan ibadah terganggu
2. Diagnosa Keperawatan
DP Pre-Operasi
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah dan tidak nafsu makan / pertumbuhan sel-sel kanker
2. Nyeri kepala berhubungan dengan proses pertumbuhan sel-sel kanker pada otak/mendesak otak.
3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan pergerakan dan kelemahan.
4. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral.
5. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra diri
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi
7. Kecemasan berhubungan dengan rencana pembedahan
DP Post-Operasi
1. Nyeri yang berhubungan dengan efek dari pembedahan
2. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra diri.
3. Kurang pengetahuan tentang tumor otak yang berhubungan dengan ketidaktahuan tentang sumber informasi
4. Kecemasan yang berhubungan dengan penyakit kronis dan masa depan yang tidak pasti.
3. Rencana Keperawatan
Dp. Pre-Operasi
Dp 1. Nyeri berhubungan dengan proses pertumbuhan sel-sel kanker
Tujuan : Nyeri berkurang sampai hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan
Hasil yang diharapkan : Nyeri berkurang sampai dengan hilang
Rencana Tindakan:
1. Kaji karakteristik nyeri, lokasi, frekfensi
R/ mengtahui tingkat nyeri sebagai evaluasi untuk intervensi selanjutnya
2. Kaji faktor penyebab timbul nyeri (takut , marah, cemas)
R/ dengan mengetahui faktor penyebab nyeri menentukan tindakan untuk mengurangi nyeri
3. Ajarkan tehnik relaksasi tarik nafas dalam
R/ tehnik relaksasi dapat mengatsi rasa nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
R/ analgetik efektif untuk mengatasi nyeri
Dp 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah dan tidak nafsu makan.
Tujuan : Kebutuhsn nutrisi dapat terpenuhi setelah dilakukan keperawatan
Hasil yang diharapkan:
- Nutrisi klien terpenuhi
- Mual berkurang sampai dengan hilang.
Rencana tindakan :
1. Hidangkan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan hangat.
R/ Makanan yang hangat menambah nafsu makan.
2. Kaji kebiasaan makan klien.
R/ Jenis makanan yang disukai akan membantu meningkatkan nafsu makan klien.
3. Ajarkan teknik relaksasi yaitu tarik napas dalam.
R/ Tarik nafas dalam membantu untuk merelaksasikan dan mengurangi mual.
4. Timbang berat badan bila memungkinkan.
R/ Untuk mengetahui kehilangan berat badan.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin
R/ Mencegah kekurangan karena penurunan absorsi vitamin larut dalam lemak
Dp 3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan pergerakan dan kelemahan.
Tujuan : Gangguan mobilitas fisik teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
Pasien mendemonstrasikan tehnik / prilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktifitas.
Rencana tindakan :
1. Kaji derajat mobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan
( 0-4 )
R / : seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko kecelakaan.
2. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R / : Perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
3. Bantu untuk melakukan rentang gerak
R / : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi
4. Tingkatkan aktifitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan
R / : Proeses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai trauma kepala, keterlibatan pasien dalam perencanaan dan keberhasilan.
5. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab.
R / : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit
Dp 4. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral.
Tujuan : Klien dapat membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat di ekspresikan
Kriteria Hasil :
 Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
 Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan
 Menggunakan sumber-sumber dengan tepat
Intervensi :
1. Kaji tipe/derajat disfungsi seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mangalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri
R/ : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam bebrapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
2. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik
R/ : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapn yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata.
3. Minta pasien untuk mengikuti perintah sederhana
R/ : menilai adanya kerusakan motorik
4. Katakan secara langsung pada pasien, bicara perlahan dan tenang
R/ : menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan respon pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu.
DP 5. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra diri.
Tujuan : Gangguan harga diri teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil : Klien dapat percaya diri dengan keadaan penyakitnya.
Intervensi:
1. Kaji respon, reaksi keluarga dan pasien terhadap penyakit dan penanganannya.
R/: Untuk mempermudah dalam proses pendekatan.
2. Kaji hubungan antara pasien dan anggota keluarga dekat.
R/: Support keluarga membantu dalam proses penyembuhan.
3. Libatkan semua orang terdekat dalam pendidikan dan perencanaan perawatan di rumah.
R/ : Dapat memudahkan beban terhadap penanganan dan adaptasi di rumah.
4. Berikan waktu/dengarkan hal-hal yang menjadi keluhan.
R/: Dukungan yang terus menerus akan memudahkan dalam proses adaptasi.
DP 6. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pengetahuan pasien bertambah mengenai kondisi dan penanganan penyakit setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil : Pasien mengerti penyebab ginjal dan komplikasinya.
Rencana Keperawatan :
1. Kaji pemahaman pasien, keluarga mengenai penyebab gagal ginjal dan penanganannya.
R / : Instruksi dasar untuk penyuluhan lebih lanjut.
2. Jelaskan fungsi renal dan konsekuensinya sesuai dengan tingkat pemahaman klien.
R / : Menambah pengetahuan pasien.
3. Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara-cara memahami perubahan akibat penyakit.
R / : Pasien dapat melihat bahwa kehidupannya tidak harus berubah.
Dp 7. Kecemasan berhubungan dengan rencana pembedahan
Tujuan : Kecemasan dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan keperawatan
Hasil yang diharapkan : Kecemasan pasien berkurang
Rencana Tindakan:
1. Jelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
R/ pasien kooperatif dalam segala tindakan dan mengurangi kecemasan pasien
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan akan
ketakutannya
R/ untuk mengurangi kecemasan
3. Evaluasi tingkat pemahaman pasien / orang terdekat tentang diagnosa medik
R/ memberikan informasi yang perlu untuk memilih intervensi yang tepat
4. Akui rasatakut/ masalah pasien dan dorong mengekspresikan perasaan
R/ dukungan memampukan pasien memulai membuka/ menerima kenyataan penyakit dan pengobatan
DP Post Operai
DP 1 : Nyeri yang berhubungan dengan efek dari pembedahan.
Tujuan : Nyeri berkurang sampai hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat menjalani aktivitas tanpa merasa nyeri
- Ekspresi wajah rileks
- Klien mendemonstrasikan ketidaknyamananya hilang
Rencana Keperawatan :
1. Kaji tingkat nyeri (lokasi, durasi, intensitas, kualitas) tiap 4 – 6 jam
R/ : Sebagai indikator awal dalam menentukan intervensi berikutnya
2. Kaji keadaan umum pasien dan TTV
R/ : Sebagai indikator awal dalam menentukan intervensi berikutnya
3. Beri posisi yang menyenangkan bagi pasien
R/ : Untuk membantu pasien dalam pengontrolan nyeri
4. Beri waktu istrahat yang banyak dan kurangi pengunjung sesuai keinginan pasien
R/ : Dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
R/ : Membantu dalam penyembuhan pasien
DP 2. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra diri.
Tujuan : Gangguan harga diri teratasi setelah dilakuakn tindakan keperawatan
Kriteria Hasil : Klien dapat percaya diri dengan keadaan penyakitnya.
Rencana keperawatan :
1. Kaji respon, reaksi keluarga dan pasien terhadap penyakit dan penanganannya.
R / : Untuk mempermudah dalam proses pendekatan.
2. Kaji hubungan antara pasien dan anggota keluarga dekat.
R / : Support keluarga membantu dalam proses penyembuhan.
3. Libatkan semua orang terdekat dalam pendidikan dan perencanaan perawatan di rumah.
R / : Dapat memudahkan beban terhadap penanganan dan adaptasi di rumah.
4. Berikan waktu/dengarkan hal-hal yang menjadi keluhan.
R / : Dukungan yang terus menerus akan memudahkan dalam proses adaptasi.
DP 3. Kurang pengetahuan tentang tumor otak yang berhubungan dengan ketidaktahuan tentang sumber informasi
Tujuan : Informasi tentang perawatan diri dan status nutrisi dipahami setalah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
Sasaran :
- Klien menyatakan pemahaman tentang informasi yang diberikan
- Klien menyatakan kesadaran dan merencanakan perubahan pola perawatan diri
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien
R/ : Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dalam penerimaan informasi, sehingga dapat memberikan informasi secara tepat
2. Diskusikan hubungan tentang agen penyebab terhadap penyakit Ca. Paru
R/ : Memberikan pemahaman kepada pasien tentang hal-hal yang menjadi pencetus penyakit
3. Jelaskan tanda dan gejala perforasi
R/ : Gejala perforasi adalah nyeri pada dada
4. Jelaskan pentingnya lingkungan tanpa stress
R/ : Untuk mencegah peningkatan stimulasi simpatis
5. Diskusikan tentang metode pelaksanaan stress
R/ : Cara penatalaksanaan stress : relaksasi, latihan dan pengobatan
DP 4 Kecemasan yang berhubungan dengan penyakit kronis dan masa depan yang tidak pasti.
Tujuan : Kecemaskan dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil : Kecemasan berkurang.
Intervensi :
1. Mendengarkan keluhan klien dengan sabar.
R / : Menghadapi isu pasien dan perlu dijelaskan dan membuka cara penyelesaiannya.
2. Menjawab pertanyaan klien dan keluarga dengan ramah.
R / : Membuat pasien yakin dan percaya.
3. Mendorong klien dan keluarga mencurahkan isi hati.
R / : Membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan persepsi.
4. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik.
R / : Menjalin hubungan saling percaya pasien.
5. Berikan kenyamanan fisik pasien.
R / : Ini sulit untuk menerima dengan isu emosi bila pengalaman ekstrem/ketidaknyamanan fisik menetap.
Daftar Pustaka
A.K. Muda, Ahmad, (2003). Kamus Lengkap Kedokteran.Edisi Revisi. Jakarta : Gitamedia Press.
Juall Carpenito, lynda RN,(1999).Diagnosa dan Rencana Keperawatan. Ed 3. Jakarta : Media Aesculappius.
Purnawan Ajunadi, Atiek S.seomasto, Husna Ametz,(1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius.Fakultas Kedokteran : UI.
Syaifuddin.(1997). Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Kedokteran (EGC)

Jumat, 25 November 2011

ASKEP MYASTHENIA GRAVIS

A.Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002)
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang mempengaruhi transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M. Neffina 2002).

B.Etiologi
Penyebaba gangguan ini tidak diketahui, tetapi kemungkin terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun. Kontraksi otot mengalami kerusakan menyebabkan kelemahan otot.

C.Manifestasi Klinik
Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan
Diplobia (penglihatan ganda)
Ptosis (jatuhnya kelopak mata)
Disfonia (gangguan suara)
Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat napas.

D.Diagnostik Test
1.Test serum anti bodi resptor ACh yang positif pada 90% pasien.
2.Test tensilon : injeksi iv memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.
3.Test elektro fisiologis untuk menunjukan penurunan respon rangsangan saraf berulang.
4.CT dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap menyebabkan respon autoimun.

E.Patofisiologi dan Penyimpangan KDM
Dasar ketidk normalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada trasmisi inpuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada sambungan neuromuskuler. Penelitian memperlihakan adanya penurunan 70-90% reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskuler setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap langsung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak transmisi neuromuskuler.

F.Proses keperawatan
1.Pengkajian
oDisfungsi sistem saraf
a)Gangguan penglihatan: diplopia dan ptosis karena kelemahan okuler
b)Ekspresi wajah seperti topeng karena keterlibatan otot-otot muka
c)Disafria atau disvagia karena kelemhan faringeal dan laringeal.
oKelemahan otot yang ekstrim dan mudah letih dengan aktivitas dan bicara yang berulang
oKemungkinan keterlibatan pernapasan dengan penurunan kapasitas vital
2.Diagnosa Keperawatan
oPola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.
oKerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot volunter.
oResiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot bulbar.

3.Intervensi dan implementasi
Pemantauan
1)Pantau status pernapasan pasien untuk melihat adanya kemumgkinan gagal napas dan krisis miastenik atau kolinergik.
2)Waspadai adanya tanda-tanda krisis yang mengancam :
a)Distres pernapasan mendadak
b)Tanda-tanda disvagia, disarfria, ptosis dan diplobia
c)Takikardia, ansietas
d)Pantau respon pasien terhadap terapi obat
3)Pantau respon pasien terhadap terapi obat
Perawatan penunjang
1)Berikam medikasi sehingga efek puncaknya bersamaan dengan makan danaktivitas esensial.
2)Bantu pasien membuat jadwal aktivitas yang realistik
3)Berikan periode istirahat untuk meminimalkan keletihan
4)Berikan alat bantu untuk membantu pasien melakukan aktivitas sehari-hari meskipun terjadi kelemahan.
5) Jika pasien menderita diplopia berikan penutp mata untuk menggunakan mata yang lain untuk meminimalkan resiko terjatuh.
6)Untuk menghindari aspirasi :
a)Ajari pasien untuk memposisikan kepala pada posisi sedikit fleksi untuk melindungi jalan napas ketika sedang makan
b)Sediakan alat pegisap sehingga pasien dapat mengoprasikannya
c)Jika pasien sedang krisis atau mengalami gangguan menelan berikan cairan iv dan makan melalui selang nasogastrik, tinggikan kepala pada tempat tidur setelah pemberian makan
d)Jika pasien memakai ventilator mekanik berikan pengisapan yang sering, kaji bunyi napas dan periksa, laporkan hasil sinar-X dada.
7)Tunjukan pasien bagaimana caranya menahan dagu dengan tangan untuk menopang rahang bawah untuk membantu berbicara
8)Jika bicara terganggu dengan sangat parah anjurkan pasien untuk menggunakan metode komunikasi alternatif seperti kartu flash atau papan huruf.

Pendidikan pasien dan pemeliharaan kesehatan
1)Instruksikan pasien dan keluarga berkaitan dengan gejala krisis miastenia.
2)Ajari pasien cara-cara untuk mencegah krisis dan memburuknya gejala;
a)Hindari terpajan flu dan inveksi lain
b)Hindari panas atau dingin yang berlebihan
c)Beritahu pasien untuk menginformasikan pada dokter gigi tentang kondisi, karena penggunaan prokain (navokaine) tidak ditoleransi dengan baik dan dapat mencetuskan krisis
d)Hindari kesedihan secara emosional
3)Ajari pasien dan keluarga berkaitan dengan penggunaan pengisap rumah
4)Tinjau kembali masa puncak obat dan bagaimana menjadwalkan akivitas untuk mendapatakn hasil yang baik
5)Tekankan pentingnya priode istirahat yang terjadwal untuk menghindari keletihan
6)Anjurkan pasien untuk memakai gelang kewaspaan medis.

4.Evaluasi
1) Mencapai fungsi pernapasan adekuat
a)Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal, dan kekuatan otot normal.
b)Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.
c)Menyatakan bahwa tas resusitasi dan pengisapan fortabel untuk digunakan dirumah.
d)Mengihindari situasi yang dapat mencetuskan flu dan infeksi, yang dapat memperberat gejala.
2)Beradaptasi pada kerusakan mobilitas
a)Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang.
b)Mengidentifikasi tindakan untuk menghemat energi.
c)Menggunakan alat-alat bantu
d)Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot.
3)Tidak mengalami aspirasi
a)Menunjukan bunyi napas normal
b)Makan dengan lambat dan memilih diet (lunak) yanag sesuai.
c)Menetapkan jadwal medikasi yang sesuai dengan waktu makan.
4)Mengalami pemulihan krisis miasteniak dan kolinergik
a)Menyebutkan tanda dan gejala.
b)Mentaati program medikasi
c)Menggunakan gelang waspada medik.

Rabu, 09 November 2011

ASKEP KEJANG

I. PENGERTIAN
a). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada saat suhu meningkat disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
b). Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252)
II. ETIOLOGI
Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu :
1. Obat – obatan
racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan
2. Ketidak seimbangan kimiawi
hiperkalemia. Hipoglikemia dan asidosis
3. Demam
paling sering terjadi pada anak balita
4. Patologis otak
akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik
5. Eklampsia
hipertensi prenatal, toksemia gravidarum
6. Idiopatik
penyebab tidak diketahui
III. PATOFISIOLOGI
IV. MANIFESTASI KLINIK
Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu :
1. Kejang demam sementara
· Umur antara 6 bulan – 4 tahun
· Lama kejang <15 menit
· Kejang bersifat umum
· Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam
· Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium
· Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang
2. Kejang demam komplikata
· Diluar kriteria tersebut diatas
V. KOMPLIKASI DARI KEJANG DEMAM
1. hipoksia
2. hiperpireksia
3. asidosis
4. ernjatan atau sembab otak
VI. FASE – FASE KEJANG DEMAM
1. Fase prodromal
Perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungkin mengawali kejang beberapa jam/ hari
2. Fase iktal
Merupakan aktivitas kejang yag biasanya terjadi gangguan muskulosketal.
3. Fase postiktal
Periode waktu dari kekacauan mental atau somnolen, peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut.
4. Fase aura
Merupakan awal dari munculnya aktivitas kejang, yang biasanya berupa gangguan penglihatan dan pendengaran.
VII. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Pemberian diazepam
· dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan )
· bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit
2. Turunkan demam
· anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis
· kompres air biasa
3. Penanganan suportif
· bebaskan jalan nafas
· beri zat asam
· jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
· pertahankan tekanan darah
VIII. PENCEGAHAN KEJANG DEMAM
1. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan anti piretika pada penyakit yang disetai demam.
2. Pencegahan kontinu untuk kejang komplikata
· fenobarbital : 5 – 7 mg/ kg BB/ 24 jam dibagi 3 dosis
· fenotoin : 2- 8 mg/ kg BB/ 24 jam 2 – 3 dosis
· klonazepam : indikasi khusus
3. Diberikan sampai 2 tahun bebas kejang atau sampai umur 6 tahun
IX. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh pada aktivitas kejang
2. Glukosa : hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.
3. Ureum/ kreatinin : dapat maningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang
4. Kadar obat dalam serum : untuk membuktikan batas obat anti konvulsi yang terapeutik.
5. Elektroensepalogram (eeg) : dapat melokalisir daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak.
X. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Data Dasar Pasien
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktivitas
Tanda : perubahan tonus dan kekuatan
2. Sirkulasi
Gejala : iktal : hiertensi, peningkatan nadi, sianosis
Postiktal : depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
3. Elimnasi
Gejala : inkontinensia episodik
Tanda : iktal : peningkatan tekanan kandung kemih
Posiktal : inkontenensia urine
4. Makanan dan cairan
Gejala : sensitivitas terhadap makanan, mual, muntah
Tanda : kerusakan jaringan lunak (cidera selama kejang)
5. Neurosensori/ kenyamanan
Gejala : riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsang, pusing
Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area paralitik
6. Pernafasan
Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun/ cepat, peningkatan sekresi mukus
B. Diagnosa Yang Mungkin Muncul
1. Resiko terhadap penghentian pernafasan barhubungan dengan kelemahan dan kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
2. Bersihkan jalan nafas inefektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial dan peningkatan sekresi mukus
C. Intervensi Keperawatan
DX 1 : Resiko Terhadap Penghentian Pernafasan Berhubungan Dengan Kelemahan Dan Kehilangan Koordinasi Otot Besar Dan Kecil
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan penghentian pernafasan tidak terjadi
Kriteria hasil :
RR dalam batas normal (16 – 20 x/ menit )
Tak kejang
Klien mengungkapkan perbaikan pernafasannya
Intervensi :
1. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur dengan tempat tidur rendah
R/ : mengurangi trauma saat kejang
2. Masukan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik / biarkan pasien menggigit benda lunak atara gigi.
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma mulut
3. Observasi TTV
R/ : menentukan kegawatan kejang dan intervensi yang sesuai
4. catat tipe dari aktivitas kejang
R/ : membantu untuk melokalisir daerah otak
5. Lakukan penilaian neurologis, tingkat kesadaran, orientasi
R/ : mencatat keadaan postiktal dan waktu penyembuhan
6. Biarkan tingkah laku “ automatik” tanpa menghalangi
R/ : untuk menghindari cidera atau trauma yang lebih lanjut
7. Kolaborasi dalam pemberian obat anti convulsi
R/ : untuk mencegah kejang ulangan
DX 2 : Bersihan Jalan Nafas Inefektif Berhubungan Dengan Peningkatan Sekresi Mukus, Obstruksi Jalan Nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif
Kriteria hasil : sekresi mukus berkurang
tak kejang
gigi tak menggigit
Intervensi :
1. Anjurkan klien mengosongkan mulut dari benda
R/ : menurunkan aspirasi atau masukanya benda asing ke faring
2. Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar
R/ : mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen
R/ : untuk memfasilitasi usaha bernafas
4. Masukan spatel lidah
R/ : untuk membuka rahang dan mencegah tergigitnya lidah
5. Lakukan penghisapan lendir
R/ : menurunkan resiko aspirasi

Kamis, 13 Oktober 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK ( PPOK)


A.    Pengertian
       Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
       Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran napas, termasuk didalamnya ialah asma, bronkitis kronis dan emfisema pulmonum.
       Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.
       Penyakit paru-paru obstruksi menahun merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.

B.     KLASIFIKASI
       Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:
  1. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
  1. Emfisema paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus.
  1. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.
  1. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.

C.    Etiologi
       Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
  1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
  2. Polusi udara
  3. Infeksi peru berulang
  4. Umur
  5. Jenis kelamin
  6. Ras
  7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
  8. Defisiensi anti oksidan
       Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.




D.    Patofisiologi/Pathway
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).



E.   Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
1.      Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
2.      Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
1.      Kelemahan badan
2.      Batuk
3.      Sesak napas
4.      Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5.      Mengi atau wheeze
6.      Ekspirasi yang memanjang
7.      Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
8.      Penggunaan otot bantu pernapasan
9.      Suara napas melemah
10.  Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
11.  Edema kaki, asites dan jari tabuh.

F.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1.      Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.       Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
b.      Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
a.       Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
b.      Corakan paru yang bertambah.
2.      Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3.      Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4.      Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5.      Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
6.      Laboratorium darah lengkap

G.    Penatalaksanaan
       Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1.      Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
2.      Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3.      Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
  1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
  2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
  3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
  4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
  5. Pengobatan simtomatik.
  6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
  7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
  8. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a.       Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b.      Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
c.       Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
d.      Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
e.       Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian diri penderita dengan penyakit yang dideritanya.



H.    Pengkajian
       Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:
  1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
  2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
  3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
  4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
  5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
  6. Riwayat merokok?
  7. Obat yang dipakai setiap hari?
  8. Obat yang dipakai pada serangan akut?
  9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
  1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
  2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
  3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
  4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
  5. Barrel chest?
  6. Apakah tampak sianosis?
  7. Apakah ada batuk?
  8. Apakah ada edema perifer?
  9. Apakah vena leher tampak membesar?
  10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
  11. Bagaimana status sensorium pasien?
  12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Palpasi:
  1. Palpasi pengurangan pengembangan dada?
  2. Adakah fremitus taktil menurun?

Perkusi:
  1. Adakah hiperesonansi pada perkusi?
  2. Diafragma bergerak hanya sedikit?
Auskultasi:
  1. Adakah suara wheezing yang nyaring?
  2. Adakah suara ronkhi?
  3. Vokal fremitus nomal atau menurun?

I.     Diagnosa Keperawatan
       Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
  1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
  2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
  3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
  4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
  5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
  6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
  7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
  8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
  9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
  10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk: Gagal/insufisiensi pernapasan
  1. Hipoksemia
  2. Atelektasis
  3. Pneumonia
  4. Pneumotoraks
  5. Hipertensi paru
  6. Gagal jantung kanan

J.     Intervensi Keperawatan
  1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a.       Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b.      Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
c.       Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
d.      Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.
e.       Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
f.       Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
g.      Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
h.      Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus pneumoniae.
  1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan:
Perbaikan pola pernapasan klien
Intervensi:
a.       Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
b.      Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
c.       Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.
  1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
Tujuan:
Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
a.       Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
b.      Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
c.       Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid  dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya.
d.      Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
e.       Pantau pemberian oksigen.
  1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.


Tujuan:
Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang mungkin.
Intervensi keperawatan:
a.       Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
b.      Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
c.       Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
d.      Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
e.       Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.
f.       Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
g.      Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
h.      Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
i.        Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.
  1. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan  anoreksia, mual muntah.
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Intervensi keperawatan:
a.       Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
b.      Auskultasi bunyi usus
c.       Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
d.      Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
e.       Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
f.       Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
g.      Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.
  1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
Tujuan:
Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a.       Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
b.      Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.
c.       Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d.      Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
e.       Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
  1. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan:
Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
Intervensi:
a.       Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
b.      Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.
c.       Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.
  1. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
Tujuan:
Klien tidak terjadi kecemasan
Intervensi keperawatan:
a.       Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
b.      Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
c.       Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.
  1. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan:
Pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi keperawatan:
a.       Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien.
b.      Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala
c.       Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
d.      Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
e.       Tingkatkan harga diri klien.
f.       Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat menumpuk.
  1. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
Tujuan:
Klien meningkat pengetahuannya.

Intervensi keperawatan:
a.       Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.
b.      Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

2.      Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.

3.      Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai penerbit FKUI

4.      Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC

5.      Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI

6.      Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC

7.      Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

8.      Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC