1 Latar
Belakang
Asma merupakan suatu penyakit yang dapat mengenai pada
anak-anak hingga dewasa dengan serangan yang sangat menakutkan tanpa mengenal
waktu yang selalu membawa penderitaan bagi pasien dan asma dapat timbul karena
kecemasan, kegiatan aktivitas yang berat, kelelahan, kurang tidur, infeksi
pernafasan, obat-obatan dan alergen.
Di negara-negara yang telah maju penelitiannya, diperkirakan
5% - 20% bayi dan anak-anak menderita asma. Sedangkan pada orang dewasa dan
orang tua rata-rata berkisar antara 2% - 10%.(Sundaru H., hal-6, 1995).
Penelitian yang pernah dilakukan dibeberapa tempat diperkirakan 2-5 % menderita
asma.
Insiden
penyakit asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : umur pasien, jenis
kelamin, bakat alergi, bunga, keturunan, lingkungan dan faktor psikologi.
Berbagai masalah yang ditimbulkan pada penyakit asma tergantung pada usia,
pekerjaan dan fungsi klien dalam keluarga tersebut.
Tingginya
angka kekambuhan pada penderita asma sering memberikan dampak pada psikologis
dan biologis pasien. Tingkat emosi yang labil dan adanya kecenderungan untuk
menolak saran-saran dalam upaya mengeliminasi perilaku yang mendukung
kesehatannya, merupakan salah satu respon psikologis pasien asma. Pada serangan
asma pasien mengalami keterbatasan fungsi dalam memenuhi segala kebutuhan
dasarnya. Dengan demikian perlu kiranya difikirkan tentang pola asuhan
keperawatan yang mampu memenuhi keterbatasan fungsi tersebut tanpa menambah
beban emosional klien akibat tindakan perawat baik selama serangan, maupun
setelah serangan sehingga klien terhindar dari kekambuhan dan dapat berfungsi
secara optiman.
2 Definisi
Asma Bronkhiale
Menurut
Crocket (1997), Asma Bronkhiale didefinisikan sebagai suatu penyakit dari
sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dan gejala-gejala
bronkhospasme yang bersifat reversibel.
Asma
bronchiale menurut American’s Thoracic
Society dikutip dari Barata Wijaya (1990) adalah suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
3 Patofisiologi
3.1 Patofisiologi Asma Bronkhiale Alergenik
Asma timbul karena
seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen yang masuk ke ubuh
melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan
ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting Cells (APC).
Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut alergen
dipresentasikan ke sel TH. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-1)
mengaktifkan sel TH, melalui penglepasan IL-2 oleh sel TH yang diaktifkan,
kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan
membentuk Ig-E.
Ig-E yang terbentuk diikat
mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi.Hal ini
dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor
untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan trombosit juga memiliki reseptor untuk
Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel
mastoit dan basofil dengan Ig-E pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan
gejala .Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah
rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen
yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada pada permukaan mastoit
dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan
terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun
itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang
pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam
granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik,
yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A (ECF-A), Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin.Efek yang segera terlihat oleh
mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin.
Menurut konsep masa kini
asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas (Samsuridjal
& Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai kepekaan saluran napas
terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus (Bronchial Hiper Responsivnees /
BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu adanya tanda-tanda peradangan
saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil.
Hipereaktifitas bronkhus
yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut (Konstriksi) bila terpapar dengan
bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak
menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap
rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya baik yang berupa irutan maupun
yang bukan irutan (Sundaru, H. hal. 27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa
hiper reaktifitas bronkhus disebabkan oleh inflamasi bronkhus yang kronik.
Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan
bilas bronkhus pasien asma bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik
Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya
hiper reaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang
menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakir
bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi
bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran napas.
Bronkhus pada pasien asma mengalami odema di mukosa dan
dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel
silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu
daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada
pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama
pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme,
oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi
penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak,
nafas berbunyi (whezzing) dan batuk yang produktif.
3.2 Patofisiologi
Asma Bronkhiale Non Alergenik
Asma Bronkhiale Non
Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi
terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas,
olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologik. Serangan
asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis
yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam
keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik
alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat
yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta
diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal
dengan adenyl-cyclase dan disebut juga massenger kedua. Bila reseptor ini
dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan menghasilkan
ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyccyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan
dilatasi otot-otot polos bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari
mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor
adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya
terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi kelenjar mukus dan oedema kelenjar
mukus bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori
blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990).
4
Faktor Pencetus Serangan Asma Bronkhiale
Faktor-faktor
yang dapat menimbulkan serangan asma bronkhiale atau sering disebut sebagai
faktor pencetus adalah :
4.1 Alergen
Alergen adalah zat-zat
tertentu bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya
debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus), spora jamur,
serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya
4.2 Infeksi
saluran nafas
Infeksi saluran nafas
terutama oleh virus seperti influensa merupakan salah satu faktor pencetus yang
paling sering menimbulkan asma bronkhiale. Diperkirakan dua pertiga pasien asma
dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas.(Sundaru, 1991).
4.3 Stress
psikologik
Stress psikologik bukan
sebagai penyebab asma tetapi sebagai pencetus asma, karena banyak orang yang
mendapat Stress psikologik tetapi tidak menjadi penderita asma bronkhiale.
Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak
labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Yunus,
1994).
4.4 Olah
raga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagian
penderita asma bronkhiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan
olahraga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani
(Exercise Induced Asthma / EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik
yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga.
4.5 Obat-obatan
Beberapapasien asma
bronkhiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin,
salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
4.6 Polusi
udara
Pasien asma sangat peka
terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung
hasil pembakaran sulfur dioksida dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.
4.7 Lingkungan
kerja
Diperkirakan 2 – 15%
pasien asma bronkhiale pencetusnya adalah lingkungan kerja (Sundaru H., 1991).
Beberapa zat yang didapat di tempat pekerjaan yang dapat mencetuskan serangan
asma seperti pada tabel berikut :
PENCETUS
|
LOKASI
|
1). Bulu dan serpih kulit binatang
2). Enzim bakteri subtilis
3). Debu kopi dan teh
4). Debu kapas
5). Toluen diisosianat
6). Debu gandum dan padi-padian
7). Amoniak, sulfur dioksida, asam klorida, klorin
8). Garam platina
9). Ampisiln, spiramisin, piperasin.
|
1). Laboratorium hewan dan peternakan
2). Industri detergen
3). Pengolahan kopi dan teh
4). Industri tekstil
5). Industri plastik
6). Pabrik roti dan bongkar muat di gudang gandum dan
padi-padian
7). Industri kimia dan perminyakan
8). Pemurnian Platina
9). Industri Obat-obatan
|
4.8 Lain-lain
Selain faktor-faktor
tersebut di atas masih terdapat faktor-faktor yang mencetuskan serangan asma
seperti lingkungan dan cuaca yang terlalu lembab, terlalu panas, terlalu
dingin, bumbu masak (monosodium glutamat), bahan pengawet makanan (asam
benzoat), zat pewarna kuning (tartarazin). Dan beberapa keadaan dapat
memperberat serangan asma seperti sinusitis, rinitis dan regurgitasi asam
lambung.
5 Manifestasi
Klinis
Selama
serangan asma, klien mengalami dispnea dan tanda-tanda kesulitan pernapasan.
Permulaan tanda-tanda serangan terdapat sensasi konstriksi dada (dada terasa
berat), whezing, batuk non produktif, takhikardi dan takipnea.
Beratnya
asma dapat diklasifikasikan dalam : ringan, sedang dan berat tergantung
gejala-gejala. Sistem skoring diberikan untuk mengklasifikasikan tersebut.
Tabel
Penilaian Keperahan Asma (Skoring)
Gejala
|
Penggunaan
Bronkhodilator
|
Variabilitas
PEFR (APE)
|
Terjaga malam hari 4
Gejala tiap hari 3
Gejala < tiap hariperminggu 2
< tiap minggu atau waktu olah raga 1
Tidak ada serangan selama 3 bulan 0
|
> 4 x / hari
1 – 4 x / hari
< tiap hari
< per minggu
tidak selama 3 bulan
|
> 25 %
4
15 – 25 %
3
10 – 15 %
2
6 – 10 %
1
< 6 %
0
|
Dikutip
dari Assagaf H & Mukty A, 1995
Skore
maksimum : 12
Asma
ringan : 1 – 5
Asma
sedang : 6 – 8
Asma berat : 9 – 12
Variabilitas
PEFR : Harga PEFR tertinggi –
harga PEFR terendah X 100 %
Harga
PEFR tertinggi
PEFR : Peak Expiratory Flow Rate
APE : Arus Puncak Ekspirasi
6. Managemen
Medis
Episode asma akut
(serangan asma) dapat termasuk kedaruratan medis. Intervensi medis untuk
episode ini secara primer bertujuan :
1.
Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan
bronkhospasme atau membersihkan sekret yang berlebihan atau yang tertahan.
2.
Memelihara keefektifan pertukaran gas
3.
Mencegah komplikasi seperti gagal nafas akut dan status
asmatikus
Obat-obatan yang dipakai meliputi
bronkhodilator dan anti inflamasi atau keduanya.
Obat anti inflamasi
meliputi :
Ø
Kortikosteroid
Ø
Sodium kromolin
Ø
Anti inflamasi lainnya
Obat
bronkhodilator :
a.
Adrenergik :
·
Epinefrin
·
Efedrin
·
Isoproterenol
·
Beta adrenergik agonis selektif
b.
Non Adrenergik :
·
Teofilin
·
Aminofilin
Perlu juga
dibeirkan oksigen 2 – 4 liter/menit.
7 Managemen
Keperawatan
Pengkajian :
1.
Riwayat Keperawatan
Perlu
dikaji riwayat adanya pemaparan (pemajanan) faktor-faktor yang biasanya
mencetuskan serangan asma bronkhiale. Dan perlu ditanyakan bagaimana kemampuan
klien untuk menghindari faktor pencetus tersebut, ataukah klien sudah
mengetahui beberapa faktor pencetus tersebut.
2.
Keluhan Utama
Keluhan
utama klien adalah sesak napas, setelah terpapar oleh alergen atau faktor lain
yang mencetuskan serangan asma bronkhiale.
3.
Pemeriksaan Fisik :
a.
Sistem pernafasan
·
Peningkatan frekuensi pernafasan, susah
bernafas, perpendekan periode inspirasi.
·
Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan
(retraksi sternum, pengangkatan bahu waktu bernafas).
·
Pernafasan cuping hidung.
·
Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop.
·
Bunyi nafas : whezzing, pemanjangan ekspirasi.
·
Batuk keras, kering dan akhirnya batuk
produktif.
b.
Sistem Kardiovaskuler
·
Takhikardia
·
Tensi meningkat
·
Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah >
10 mmHg pada waktu inspirasi)
·
Sianosis
·
Dehidrasi
·
Diaforesis
c.
Psikososial
·
Peningkatan ansietas : takut mati, takut
menderita, panik, gelisah
4.
Pemeriksaan penunjang :
a.
Darah : Kadar IgE meningkat dan eosinophil meningkat
b.
Gas darah arteri : Penurunan PaO2 dan PaCO2 namun
selanjutnya PaCO2 meningkat sesuai dengan meningkatnya tekanan jalan nafas
c.
Faal Paru : Menurunnya FEV1
d.
Tes kulit : Untuk menentukan jenis alergen.
Diagnose Keperawatan
dan Rencana Intervensi :
1.
Ketidak efektifan pola napas sehubungan dengan gangguan
ekspirasi dan ansietas
Tujuan :
Klien
mampu menunjukkan pola pernafasan yang normal
Ditandai :
a.
Penurunan frekuensi pernapasan sampai kebatas normal
b.
Penurunan tanda dari sesak nafas, dan penurunan otot
bantu nafas.
c.
Analisa gas darah dalam batas normal
d.
Vital capacity dalam batas normal
Rencana
Intervensi :
a.
Kaji kembali dan observasi frekuensi pernafasan,
kedalaman pernapasan dan adanya tanda-tanda sesak nafas.
b.
Monitor nilai analisa gas darah untuk mengetahui
keefektifan pengobatan
c.
Baringkan pasien dalam posisi fowler’s untuk
meminimalkan kerja ekspansi dada.
d.
Berikan Oksigen pernasal sesuai order dokter.
e.
Lakukan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian
obat-obatan :
·
Kortikosteroid
·
Bronkhodilator
·
Antihistamin
2.
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas sehubungan
dengan peningkatan produksi sekret.
Tujuan :
Klien akan
menunjkkan keefektifan jalan nafas/klien mampu mempertahankan jalan napas yang
paten.
Ditandai :
a.
Penurunan whezzing dan ronchi
b.
Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
c.
Tak ada dispenia, sianosis
d.
Analisa gas darah dalam batas normal
e.
Penurunan batuk kering/non produktif
Rencana
intervensi :
a.
Kaji suara nafas tiap jam selama episode akut untuk
menilai keadekuatan pertukaran gas.
b.
Jika memungkinkan lakukan suction
c.
Monitor warna dan konsistensi sputum karena asma sering
sebagai akibat infeksi saluran nafas atas.
d.
Kaji keefektifan batuk klien, anjurkan untuk batuk
efektif.
e.
Tingkatkan intake cairan untuk mencegah sekret yang
kental, untuk mengembalikan cairan yang hilang akibat respirasi yang cepat.
f.
Berikan humidifier untuk mengencerkan dahak.
g.
Jika sekret kental dan sulit dikeluarkan, lakukan
fisioterapi dada : Perkusi dan vibrasi.
h.
Berikan perawatan mulut, setiap 2 – 4 jam, untuk
menghilangkan rasa tidak enak akibat dari sekret.
i.
Lakukan order dokter dalam pemberian expectoran.
3.
Ansietas sehubungan dengan kesulitan bernafas, takut
menderita, dan atau takut serangan berulang.
Tujuan :
Klien
mendemonstrasikan penurunan rasa takut dan ansietas
Ditandai :
a.
Ekspresi wajah relaks
b.
Mengungkapkan perasaan cemas berkurang
c.
Tanda vital dalam batas normal
Rencana
intervensi :
a.
Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat)
b.
Kaji kebiasaan ketrampilan koping
c.
Berikan dukungan emosional :
·
Tetap berada di dekat pasien selama serangan
akut
·
Antisipasi kebutuhan pasien
·
Berikan keyakinan yang menenangkan
d.
Implementasikan teknik relaksasi
e.
Kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana
f.
Jangan berbicara bila sedang dispnea berat
4
Potensial terjadi kekambuhan serangan asma
Tujuan :
Mencegah terjadinya kekambuhan
Rencana intervensi
Berikan penyuluhan tentang usaha pencegahan serangan asma,yaitu :
a.
Menjaga kesehatan dengan cara makan makanan yang
bergizi, istirahat cukup, minum banyak, rekreasi dan olahraga yang sesuai.
b.
Menjaga kesehatan lingkungan, dengan cara membersihkan
rumah, ruangan, kamar tidur dan menghindari tempat lembab.
c.
Menghindari faktor pencetus.
d.
Menggunakan obat-obatan anti asma.
Peran peraat di sini yaitu mengajarkan cara menggunakan obat
anti asma sesuai dengan aturan pakai.
e.
Lain-lain (Meditasi).
Evaluasi :
Tujuan
yang telah direncanakan harus dievaluasi. Revisi dari rencana keperawatan
mungkin diperlukan. Pada asma bronkhiale dapat kembali (sembuh) dengan mudah
jika tidak terdapat masalah lain seperti infeksi.
8 Kerangka
Konseptual
|
|
|
||||||||||
|
||||||||||
|
||||||||||
|
8 Kesimpulan
Asma timbul
karena beberapa faktor pencetus dengan serangan yang sangat menakutkan dan
cenderung mengakibatkan kekambuhan.Keadaan ini menimbulkan beberapa dampak
antara lain :
- Emosi yang labil.
- Perilaku sehat yang menurun.
- Keterbatasan fungsi tubuh.
Dalam hal ini
perawat mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengatasi dan mencegah
timbulnya serangan asma.
Asuhan
keperawatan yang diberikan akan membantu klien memenuhi kebutuhan dasarnya dan
menghindarkan diri dari kekambuhan sehingga dapat berfungsi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anes, SW. (1998).
Essentials of Adult Health Nursing.
Menlo Park. California.
Baratawidjaja, G.
K. (1990). Asma Bronkhiale.Dalam Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid II. FKUI. Jakarta.
Black. JM and
Ester MJ (1997). Medical Surgical Nursing.Vol. 2, W. B. Saunders
Company. Philadelphia.
Engram,B. (1998).
Rencana Asuhan Keperawatan medical bedah. Vol 1. EGC. Jakarta.
Fax ,SI and Graw
,M (1999). Human Physiology. Hill Companies. Nort America.
Gibson, JM.
(1998). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk perawat. EGC. Jakarta.
Kaliner, MA.
(1991). Astma its Pathology and Treatment. Vol. 49, National Institutes
of Health Bethesda, Maryland.
Kontaraf, J.
(1992). Olah Raga Sumber Kesehatan. Advent. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar